Melukis Senja di Paris
Bonjuor ! Bonjour ! bonjour ! Kata
itu masih terngiang dalam benakku. Ah, cita-cita itu sering kali membuka
lembaran-lembaran usang yang tak sengaja terekam dalam fikiranku. Sungguh,
bukanlah kemauanku menjadi tukang pengayuh becak, apalagi pada umurku yang
relative sangat muda ini. Setiap hari, bahkan setiap detik. Lelah ! itulah kata
yang pantas ku sandang untuk melukiskan kisah hidupku. Aku hanyalah tukang
becak muda ! ku katakan kata itu setiap hari pada diriku sambil terus ku
ayuhkan sandal jepitku pada pedal-pedal kemiskinanku. Tapi, inilah takdir yang
sengaja menjumpaiku, semenjak kepergian ayah, kini akulah yang menjadi tulang
punggung keluarga. akulah satu-satunya laki-laki yang tersisa di rumah reyot ini. Aku layaknya
kapas, yang dengan mudahnya terbang jika terkena angin dan sudah pergi entah
kemana. Aku juga sempat iri pada angin ribut ! mereka tau jalan yang akan di
tuju, sedang aku ? aku terbengkalai di antara rerumunan rakyat-rakyat miskin
lainnya. Impianku pun terbang, impianku hilang, impianku sirna, impianku
terlunta, dengan meninggalkan bekas luka tak berdarah dalam relungku yang
membara.
Inilah
aku yang sekarang, lorong jalan gelap menerjal sudah menjadi teman akrabku,
kala senja malam perlahan datang. Sebuah surau mungil di ujung bukit penuh bara
oncor di sekelilingnya, saat itulah ku tapakkan sandal jepitku melewati jalanan
penuh lumpur. Mereka tampak serasi kurasa. Sandal jepitku dengan lumpur tlah
menjadi teman akrab. Lagi-lagi aku harus sampai pada surau, melelahkan memang,
tapi aku harus mencapainya. Di tempat itulah akan ku pejamkan mataku dengan
semburat cairan bening yang keluar dari dalamnya. Seakan hatiku tlah luruh pada
tempat itu, ku giling satu persatu tasbih peninggalan ayahku. Inilah tempat
yang sunyi, sejuk, damai. Dan akulah pemeran utamanya, aku tak perlu memakai
topeng lagi untuk mengaduhkan segala kesedihanku yang ku tahan seharian penuh
tadi. Bulan menjadi satu-satunya saksi peraduanku dengan Tuhanku. Sesekali
kunang-kunang ikut larut bersamaku. Di tempat inilah, tempat yang dimana aku
dapat merasakan bagaikan di atas menara yang sangat indah yang termasyhur di
dunia itu. Jika ku pandang dari jarak gubuk reyotku yang tepat di bawah bukit.
Sering kali aku terlelap di depan rumah, berharap paginya aku menatap menara
yang sangat termasyhur itu. Tapi, itu hanyalah sebuah khayalanku belaka ! surau
tetaplah surau.
Ku
rasa, hidup ini bagaikan berjalan menuju surau, walau berkawan lumpur tapi akan
terasa damai saat kaki sudah menginjak di tanah surau. Hanya saja, hidupku baru
saja di mulai. Sempat asaku menjadi raja dalam hidupku. Hampir saja pisau ku
goreskan pada nadi di pergelangan tanganku. Hampir saja usaha-usaha itu mulus
terlaksana saat telingaku sudah lelah mendengarkan bisikan-bisikan warga
tentang ayahku yang pergi dengan meninggalkan hutang-hutang yang berserakan
kemana-mana. Ah. Jika aku harus memilih, aku tak mau punya ayah sakit sakitan.
Atau bahkan aku tak perlu punya ayah sekalipun daripada punya ayah yang
menyusahkan, sudah meninggal pun masih meninggalkan kami hutang. Kebencianku
pada ayah sudah mengakar. Ayah ada memang untuk menyengsarakan kita. Ayah lah
pembawa nasibku menjadi pengayuh becak sepertinya. Andai saja, aku mau ikut
kakek waktu itu, pasti setiap hari pun aku bisa menginjakkan kakiku pada negeri
paris yang ku impi-impikan itu, bahkan untuk menuntut ilmu disana sangatlah hal
yang mudah, jika aku ikut kakek. Aku tak perlu susah-susah berjalan menuju
surau. Hidupku pasti mulus. Tapi, aku masih teringat kedua adikku dan ibuku.
Aku tak mungkin meninggalkan mereka seperti ayah. Aku masih punya tanggung
jawab atas itu.
****
Bonjour ! Allo ….
Salut! Cava ? pardon monsieur… suara itu membuyarkan
lamunanku. Senja paris kali ini membuatku
meneteskan kembali air di mataku. Aku sangat bersalah pada dugaan-dugaan besar
dalam hidupku kala itu. Aku sekarang disini, dan itu karna usaha ayahku. Surat
pengubah nasibku tak henti-hentinya ku baca dengan linangan air mata karena
rasa bersalah ku pada ayah.
Anakku tersayang, Alif
Adrian… kini sudah waktunya engkau meraih impianmu. Ku tau semangat belajarmu
sangatlah besar. Waktu itu kamu masih menjadi bayi kecil yang sangat
menggemaskan dengan mata berbinar-binar kau sempurnakan panggilan “Ayah”
untukku. Tapi, seiring berjalannya waktu, kamu sering sakit-sakitan, beberapa
kali Ayah dan Ibumu membawamu ke Rumah Sakit hingga berapa puluh juta ribu uang
yang kami berikan pada Rumah Sakit demi kesembuhanmu. Kami terpaksa mencari
hutang kesana kemari agar buah hati kami menjadi anak yang sehat sempurna. Tak
terasa, sudah berbulan-bulan kamu hidup dengan bantuan selang. Dokter memvonis,
umurmu tak lagi panjang anakku.. jika tak ada pendonor ginjal untukmu. Untuk
itu, aku rela memberikannya untukmu. Ibumu pun tak tau hal ini. aku rasa, hidup
dngan satu ginjal tak akan memberi dampak yang besar pada hidup kita. Ternyata
firasatku salah anakku, seiring berjalannya waktu, kesehatan Ayah menurun.
Selang infuslah satu-satunya penolong. Hingga ibumu memimjam uang kesana kemari
tapi tak mendapatkannya. Akhirnya, Ayah memutuskan untuk pulang ke rumah
meskipun sakit ayah masih meraja lela dalam diri Ayah. Ayah harus kuat mencari
nafkah untuk kalian semua. Becak dari belas kasihan tetangga, Ayah gunakan
untuk meringankan kesengsaraan hidup kita. Lagi-lagi Ayah hanya bisa bertahan
sampai tertulisnya surat ini untukmu anakku. masih tersisa sedikit tabungan
ayah. Gunakanlah untuk menemui kakekmu. Kakekmu akan mewujudkan impian besar
dalam hidupmu. Ibu dan adik-adikmu juga akan tinggal di dalamnya. Ayah dan ibu
dulunya menikah tanpa restu orang tua. Oleh karena itu, kakekmu sangat membenci
Ayah. Tapi Ayah berusaha hidup tanpa kakekmu. Hingga waktunya datang, kakekmu
luluh melihat kehidupan miskin kami. Berapa kali kakekmu menawarkan hidup yang
lebih nyaman kami menolak. Hanya satu pintaku pada kakekmu, agar membahagiakan
kalian semua semenjak kepergian ayah. Smoga kamu menjadi anak yang sholeh nak.
Ayah sayang ananda…. Berlayarlah ke negeri paris. Tuntutlah ilmu disana. Kelak
kepulanganmu dari sana, kamu akan menjadi manusia yang lebih bermanfaat.
Ayahmu
Saat itulah, kakiku melemas, tak
kuasa menopang badanku. Hanya kata per kata terucap dari bibir tipisku “Engkau adalah Ayah terhebat yang pernah
ada”.